Sabtu, 27 Desember 2014

ARMADA PENAKLUK LAUTAN DI ERA KEJAYAAN ISLAM

Ilmu astronomi berkembang seiring dengan kebutuhan penjelajahan kaum Muslim ke berbagai belahan dunia. Pasalnya, astronomi bermanfaat untuk navigasi dalam upaya menjangkau negerinegeri yang jauh dari wilayah kekuasaan Islam. Dengan demikian, astronomi membantu mengembangkan misi dakwah Islam, juga memperkuat perkembangan ilmu pengetahuan umat. Dalam proses menggapai dua misi itu, tak jarang umat Islam harus berhadapan dengan pasukan musuh yang menghadang.



Maka dibutuhkan pasukan perang yang kuat dengan bekal pengetahuan perbintangan yang mumpuni. Dalam satu dekade sejak penaklukan Mesir, umat Islam berhadapan dengan Byzantium (Kekaisaran Romawi). Dalam persaingan itu, umat Islam berhasil menguasai Laut Tengah bagian timur, yakni Cyprus sekitar tahun 30 H (649 M), dan Rhodes pada tahun 52 H (672 M).

Pada saat itu, Kekaisaran Romawi memiliki armada angkatan laut yang hebat dan kuat di Laut Tengah. Mereka menjadi salah satu kekuatan militer terkuat di dunia pada zamannya. Maka, umat Muslim berpikir bagaimana cara melawan angkatan laut yang tak terkalahkan itu. Sejak saat itulah dibentuk armada angkatan laut Muslim. Di sini navigasi diperlukan untuk menuntun arah hingga ke tempat-tempat yang mereka tuju.

Kaum Muslim berkeyakinan, makin teliti seorang navigator dalam menentukan posisinya di tengah laut, berdasarkan peredaran matahari, bulan, atau bintang, makin tinggi pula akurasi perhitungan waktu dan tempat yang dituju. Dengan demikian, persiapan logistik selama perjalanan pun dapat dilakukan secara lebih matang.

Ada kaidah berbunyi Ma laa yatimmul waajib illaa bihi, fahuwa wajib (apa yang mutlak diperlukan untuk menyempurnakan sesuatu kewajiban, hukumnya wajib pula). Kaidah ini menjadi pedoman bagi kaum Muslimin dalam menyiapkan peperangan melawan Kaisar Romawi ketika itu.

Mereka mulai mempelajari teknik perkapalan, navigasi dengan astronomi maupun kompas, dan mesiu. "Bangsa Arab sangat cepat menanggapi kebutuhan akan angkatan laut yang kuat untuk mempertahankan dan mempersatukan daerah kekuasaannya," jelas Ahmad Y. Al-Hassan dan Donald R Hill dalam karyanya Islamic Technology: An Illustrated History.

Selama era kekuasaan Bani Ummayah, Khalifah Mu'awiyah (602M-680M) berusaha memulihkan kembali kesatuan wilayah Islam. Setelah berhasil mengamankan situasi dalam negeri, Mu'awiyah segera mengerahkan pasukan untuk perluasan wilayah kekuasaan.

Penaklukan Afrika Utara (647 M- 709 M) merupakan peristiwa penting dan bersejarah selama masa kekuasaannya. Gubernur Mesir kala itu, Amr Ibnu Ash, merasa terganggu oleh kekuasaan Romawi di Afrika Utara. Karenanya, Amr Ibnu Ash mengerahkan pasukan di bawah pimpinan Jenderal Uqbah untuk menaklukkan wilayah Afrika Utara itu.

Pasukan Uqbah akhirnya berhasil menguasai Kairowan hingga ke bagian selatan wilayah Tunisia. Khalifah Mu'awiyah kemudian membangun benteng untuk melindungi kota Kairowan dari serangan pasukan Berber dan menjadikan kota Kairowan sebagai ibukota propinsi Afrika Utara.

Mu'awiyah tercatat sebagai pendiri armada angkatan laut Islam. Ia pernah menjabat sebagai Gubernur Syria, ketika kekhalifahan Islam dipimpin oleh khalifah rasyidah ketiga, Ustman bin Affan. Selama itu pula Mu'awiyah telah memiliki lima puluh armada laut yang tangguh. Pasukan laut ini akhirnya berhasil menaklukkan Cyprus (649 M), Rhodes (672 M), dan kepulauan lainnya di sekitar Asia Kecil.

Dengan penaklukan Afrika Utara (647 M- 709 M) dan Spanyol (705-715 M), kirakira 40 tahun kemudian, armada angkatan laut Islam di seluruh Laut Tengah menjelma sebagai yang terkuat dan tak terkalahkan hingga dua abad berikutnya. Pasukan ekspedisi dari Afrika Utara menduduki Sisilia pada tahun 211 H (837 M). Angkatan laut tersebut hingga masuk ke wilayah pantai Italia dan Prancis Selatan.

Armada laut Turki Ustmani
Berselang beberapa abad kemudian, Kesultanan Ustmani (Ottoman) juga mampu mengalahkan kekuatan Kaisar Romawi. Mereka berhasil menundukkan Konstantinopel (ibu kota Kekaisaran Byzantium) pada tahun 1453. Sejak itu, pemerintahan Ustmani mulai mengembangkan Istanbul (kota Islam) menjadi pusat pelayaran.

Bahkan, Sultan Muhammad II pun menetapkan lautan dalam Golden Horn sebagai pusat industri dan gudang persenjataan maritim. Dia juga mengangkat komandan angkatan laut, Hamza Pasha, untuk membangun industri dan gudang persenjataan laut.

Kesultanan Ustmani juga membuat sebuah kapal di Gallipoli Maritime Arsenal. Dengan komando Gedik Ahmed Pasha (tahun 1480 M), Kesultanan Ustmani memperkokoh basis kekuatan lautnya di Istanbul. Maka tak heran, jika marinir Turki mendominasi Laut Hitam dan menguasai Otranto.

Pada era kekuasaan Sultan Salim I (1512 M-1520 M), Kesultanan Turki Ustmani memodifikasi pusat persenjataan maritim di Istanbul. Salim I berambisi menciptakan negara yang kuat, tangguh di darat dan laut. Ia bertekad memiliki angkatan laut yang besar dan kuat untuk menguasai lautan.

Pembangunan dan perluasan pusat persenjataan maritim pun dilakukan dari Galata sampai ke Sungai Kagithane di bawah pengawasan Laksamana Cafer. Pembangunan dan perluasan ini rampung pada tahun 1515 M. Proyek besar ini menyedot dana hingga sekitar 50 ribu koin.

Selain mengembangkan pusat persenjataan Maritim Istanbul, Sultan Salim I juga memerintahkan membuat beberapa kapal laut berukuran besar. Selang beberapa tahun kemudian, sebanyak 150 unit kapal selesai dibuat. Dengan kekuatan yang dahsyat itu, Sultan Salim I pernah mengatakan, "Jika Scorpions (pasukan Kristen) menempati laut dengan kapalnya, jika bendera Paus dan raja-raja Prancis serta Spanyol berkibar di Pantai Trace, itu semata-mata karena toleransi kami."

Dengan memiliki armada kapal laut terbesar di dunia pada abad ke-16 M, Turki Ustmani telah menguasai Laut Mediterania, Laut Hitam, dan Samudera Hindia. Tak heran, bila kemudian Turki Ustmani kerap disebut sebagai kerajaan yang bermarkas di atas kapal laut. Ambisi Sultan Salim I menguasai Lautan akhirnya tercapai.

Bahkan, sekembalinya Sultan Salim I dari Mesir, ia berpikir kembali akan pentingnya membangun kekuatan di lautan yang lebih kuat. Sebelumnya, kekuasaan Ustmani Turki telah menguasai pelabuhan penting di Timur Mediterania, seperti Syiria dan Mesir. Gagasan Sultan Salim I ini terus dikembangkan oleh sultan-sultan berikutnya. Berkat kehebatannya, Turki Ustmani sempat menjadi adikuasa yang disegani bangsa-bangsa di dunia, baik di darat maupun di laut.


Mengenal Tipe Kapal Perang

Seiring berkembangnya teknologi navigasi, teknologi perkapalan pun berkembang pesat di dunia Islam. Teknologi perkapalan merupakan kekuatan industri dunia terbesar di abad pertengahan. Ketika itu, umat Islam memiliki begitu banyak pelabuhan yang ramai dan padat.

Dan di sepanjang daerah pantai kota-kota Islam banyak berdiri pusat-pusat pembuatan dan perakitan kapal. Setiap negeri Muslim menciptakan kapal dengan model dan jenis yang berbeda-beda. Selain membuat kapal untuk tujuan berniaga, pada era itu umat Islam juga gencar membuat kapal-kapal perang.

Kapal perang dibangun untuk memperkokoh pertahanan wilayah kekuasaan kekhalifahan Islam di lautan. Sehingga, ketika itu kekhalifahan Islam tak hanya tangguh di darat, namun juga kuat di lautan. Begitu sulit untuk dikalahkan. Kapal perang didesain lebih ramping dan dikendalikan dengan layar atau dayung. Sedangkan, kapal niaga dibangun dengan cukup lebar.

Rancangan seperti itu sengaja dibuat agar kapal dapat membawa barang dalam jumlah yang banyak. Pada masa itu, kapal perang yang paling besar sanggup menampung sekitar 1.500 pasukan. Sedangkan kapal dagang yang besar mampu menampung 1.000 ton barang.

Menurut Al-Hasan dan Hill, pada mulanya kapal-kapal perang tersebut dibuat di Mesir dan Syria oleh para ahli pembuat kapal nomor wahid. Konstruksi kapal dibuat sama dengan kapal-kapal yang dibuat oleh angkatan laut Byzantium. "Para kelasi direkrut dari penduduk setempat, tetapi para tentara yang membawahi mereka adalah orang-orang Arab," jelas Al-Hassan dan Hill.

Seiring berjalannya waktu, dunia perkapalan semakin maju. Bahkan pembuatan kapal serta perlengkapan angkatan laut secara keseluruhan menjadi mata usaha orang-orang Islam kala itu. Akibatnya, kaum Muslimin menjadi ahli dalam kedua cabang keahlian yang berkaitan dengan kelautan itu. Mereka tercatat membuat beberapa kemajuan penting. Kapal-kapal yang besar mampu mereka hasilkan. Bahkan mereka merancang kapal perang besar seperti shini, kapal besar (galley) yang digerakkan dengan 143 dayung.

Pada tahun 326 H (972 M), papar Al-Hasan dan Hill, Khalifah Mu'izz Din Allah dari Dinasti Fathimiyyah menjadi pimpinan pembuatan 600 kapal di galangan kapal Maqs di Mesir. Salah satu kapal besar lainnya tipe buttasa, sebuah kapal layar yang dapat menopang sebanyak 40 layar. "Salah satu kapal jenis ini membuat rekor dengan kemampuannya memuat 1.500 orang termasuk awak dan tentara," ungkap Al-Hasaan dan Hill.

Adapun jenis kapal lainnya adalah ghurab (secara harafiah berarti gagak). Dinamai demikian mungkin berdasarkan bentuk haluan kapal tersebut. Jenis lainnya adalah kapal shallandi, kapal dengan dek lebar yang digunakan untuk membawa muatan. Dua nama kapal tersebut sampai ke Eropa, bahkan masuk ke dalam kosakata bahasa Eropa dan berubah menjadi corvett dan challand.

Kaum Muslim juga mampu membuat kapal jenis qurqura (bahasa Latinnya berburu), yakni kapal Cyprus yang besar untuk membawa kebutuhan armada. Mereka juga menciptakan beberapa kapal kecil yang dirancang untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti kapal untuk suplai barang dan senjata, kapal untuk komunikasi dari kapal ke pantai, kapal pengintai, dan kapal untuk pengeran dan penangkapan musuh. "Kebanyakan kapal itu didayung, tetapi shubbak (perahu nelayan Laut Tengah) selain mempunyai dayung-dayung dilengkapi pula dengan sejumlah layar," kata Al-Hassan dan Hill.

Jenis kapal yang lebih besar bisa digunakan untuk membawa penembak misi dan mesin-mesin untuk melepaskan bahan peledak dan juga untuk membawa para awak kapal yang terampil. Ketika teknologi perkapalan belum canggih, pertempuran laut berlangsung dalam jarak jauh. Namun dalam perkembangannya, semua kapal dilengkapi jepitan besi untuk merapatkan pinggiran lambung kapal musuh, sehingga banyak pertempuran pada akhirnya ditentukan oleh perkelahian berhadap-hadapan antara para awak dan pelaut yang sedang bertempur.(rp) suaramedia.com


          semoga dapat bermamfaat bagi anda yang menbacanya.
          salam sejahtra wahai saudaraku seagama dan sekeyakinan   

LAFADH “الصلاة جامعة ” SEBELUM SHALATJENAZAH BERJAMA'AH

shalat jenazahDalam literatur kitab-kitab syafi’iah, di jelaskan bahwa sebelum kita melaksanakan shalat sunat yang dilaksanakan secara berjama’ah, disunatkan bagi kita untuk mengucapkan lafadz “الصلاة جامعة ” ( kerjakanlah shalat secara berjama’ah ) .
Pada dasarnya, lafadz tersebut disunatkan pada shalat gerhana matahari sebagaimana telah disebutkan dalam kitab shahih bukhari muslim. Adapun hukum sunat membaca lafadz “الصلاة جامعة ” pada shalat sunat yang lain adalah karna di qiyas kan kepada salat gerhana matahari.
Namun, masalah yang timbul saat ini adalah, sebagian kalangan masyarakat ada yang mengucapkan lafadz tersebut sebelum pelaksanaan shalat jenazah yang dilaksanakan secara berjama’ah.

Pertanyaan:

Apakah disunatkan membaca الصلاة جامعة sebelum melaksanakan shalat janazah secara berjamaah?

Jawaban:

Terdapat tafshil (rincian ) pada masalah tersebut. Pada dasarnya tidak disunatkan mengucapkan lafadzالصلاة جامعة pada shalat jenazah, karena kebiasaannya para pengantar jenazah telah hadir di tempat shalat. Namun, jika seandainya banyak di antara para pengantar jenazah yang tidak tahu bahwa salat akan dilaksanakan, maka di ketika itu, di sunatkan mengucapkan lafadz الصلاة جامعة , berdasarkan pendapatsyeikh ‘aliy syibra amlasi. Lebih lanjut, syaikhuna ibnu hajar al-haitamy menyatakan bahwa tidak ada anjuran untuk mengucapkan lafad الصلاة جامعة pada shalat jenazah,kecuali ketika di perlukan.

Referensi;

1. Asna Al-mathaalib fi syarhi raudhi al-thalib, jilid. 1, hal. 126, cet. Darul kutub al-islamiy

وينادى لجماعة صلاة العيدين والكسوفين والاستسقاء والتراويح والوتر حيث يسن جماعة فيما يظهر الصلاة جامعة لوروده في الصحيحين في كسوف الشمس وقيس به الباقي والجزءان منصوبان الأول بالإغراء والثاني بالحالية أي احضروا الصلاة أو الزموها حالة كونها جامعة ويجوز رفعهما على الابتداء والخبر ورفع أحدهما على أنه مبتدأ حذف خبره أو عكسه ونصب الآخر على الإغراء في الجزء الأول وعلى الحالية في الثاني


2. Hasyiah Qalyubi, jilid. 1, hal. 124, Cet.Toha putra

قوله : ( ونحوه ) أي العيد من كل نفل تطلب فيه الجماعة , إذا أريد فعله جماعة فخرج صلاة الجنازة قال شيخنا : ويندب في كل ركعتين من التراويح , لأنهما كصلاة مستقلة , وكذا من الوتر ونحوه إذا فعل كذلك فراجعه

3. Asna Al-mathaalib fi syarhi raudhi al-thalib, jilid. 1, hal. 126, cet. Darul kutub al-islamiy

لَا لِجِنَازَةٍ ) وَمَنْذُورَةٍ وَنَافِلَةٍ لَا تُسَنُّ جَمَاعَةً كَالضُّحَى أَوْ صُلِّيَتْ فُرَادَى فَلَا يُسَنُّ لَهَا ذَلِكَ أَمَّا غَيْرُ الْجِنَازَةِ فَظَاهِرٌ وَأَمَّا الْجِنَازَةُ فَلِأَنَّ الْمُشَيِّعِينَ لَهَا حَاضِرُونَ فَلَا حَاجَةَ لِلْإِعْلَامِ

 

4. Tuhfatul muhtaj, jilid. 1, hal. 462, cet. darul ihya

عِبَارَةُ ع ش يُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّ الْمُشَيِّعِينَ لَوْ كَثُرُوا وَلَمْ يَعْلَمُوا وَقْتَ تَقَدُّمِ الْإِمَامِ لِلصَّلَاةِ سُنَّ ذَلِكَ لَهُمْ وَلَا بُعْدَ فِيهِ اهـ وَعِبَارَةُ شَيْخِنَا بِخِلَافِ صَلَاةِ الْجِنَازَةِ فَلَا يُنَادَى لَهَا إلَّا إنْ اُحْتِيجَ إلَيْهِ فَيُقَالُ الصَّلَاةُ عَلَى مَنْ حَضَرَ مِنْ أَمْوَاتِ الْمُسْلِمِينَ كَمَا يَقَعُ الْآنَ اهـ

HUKUM MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL DAN MERAYAKANNYA

Hukum Mengucapkan Selamat Natal
Salah satu hal yang sepertinya telah menjadi kebiasaan generasi muslim saat ini adalah mengucapkan keselamatan untuk hari raya non-Muslim, baik untuk kaum Nasrani ketika Natal ataupun untuk umat Hindu dan Budha ketika Nyepi dan Waisak. Bahkan tak sedikit pula yang ikut menghadiri dan merayakannya bersama-sama baik di rumah ataupun di tempat ibadah umat agama lain. Lantas bagaimana pandangan para ‘Ulama menyikapi fenomena ini? 

Beranjak dari permasalahan tersebut, kami berupaya untuk sedikit memberikan gambaran analisa nash-nash ‘ibarat kitab para ‘Ulama terkait perayaan hari raya agama lain sehingga kami pun berkesimpulan bahwa merayakan atau memberikan ucapan selamat pada hari raya agama lain adalah salah satu perbuatan yangmuwafaqah dengan mereka (kaum kafir) sehingga haram hukumnya seorang Muslim untuk ikut merayakan ataupun memberikan ucapan selamat hari raya mereka bahkan ia bisa menjadi kufur bila perbuatan tersebut dilakukan dengan rasa senang (ridha) sekaligus bertujuan meniru mereka dalam rangka ikut mensyiarkan kekufuran mereka.

Ucapan selamat tersebut juga mengandung unsur memuliakan kaum kafir dan menimbulkan pandangan benar kepada khalayak umum terhadap keyakinan mereka apalagi ucapan ini hanya dikhususkan oleh kaum kafir pada hari raya agama mereka. Para ‘Ulama juga beranggapan bahwa hari raya agama lain tidak mendatangkan kebaikan sama sekali bagi umat Islam sehingga sangat tidak pantas untuk dihadiri oleh seorang Muslim.

Salah satu hal yang perlu disadari juga adalah tidak sedikit kedustaan yang bersumber dari perayaan hari raya agama lain. Natal misalnya, dimana kaum Nashrani memperingati dan merayakan hari tersebut sebagai hari kelahirannya Nabi ‘Isa as. Padahal tanggal 25 Desember tersebut bukanlah tanggal kelahiran Nabi ‘Isa as bahkan tahun Masehi sendiri baru diciptakan setelah ribuan tahun pasca kenabian ‘Isa as. 

Referensi :

1. al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, Imam Ahmad bin Hajar al-Haitami, Juz. IV, Hal. 238 – 239, Cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1403 H (1983 M) :

وسئل رحمه الله تعالى ورضي عنه هل يحل اللعب بالقسي الصغار التي لا تنفع ولا تقتل صيد إبل أعدت للعب الكفار وأكل الموز الكثير المطبوخ بالسكر وإلباس الصبيان الثياب الملونة بالصفرة تبعا لاعتناء الكفرة بهذه في بعض أعيادهم وإعطاء الأثواب والمصروف لهم فيه إذا كان بينه وبينهم تعلق من كون أحدهما أجيرا للآخر من قبيل تعظيم النيروز ونحوه، فإن الكفرة صغيرهم وكبيرهم وضيعهم ورفيعهم حتى ملوكهم يعتنون بهذه القسي الصغار واللعب بها وبأكل الموز الكثير المطبوخ بالسكر اعتناء كثيرا وكذا بإلباس الصبيان الثياب المصفرة وإعطاء الأثواب والمصروف لمن يتعلق بهم وليس لهم في ذلك اليوم عبادة صنم ولا غيره وذلك إذا كان القمر في سعد الذابح في برج الأسد وجماعة من المسلمين إذا رأوا أفعالهم يفعلون مثلهم فهل يكفر أو يأثم المسلم إذا عمل مثل عملهم من غير اعتقاد تعظيم عيدهم ولا اقتداء بهم أو لا؟

فأجاب نفع الله تبارك وتعالى بعلومه المسلمين بقوله: لا كفر بفعل شيء من ذلك، فقد صرح أصحابنا بأنه لو شد الزنار على وسطه أو وضع على رأسه قلنسوة المجوس لم يكفر بمجرد ذلك اهـ، فعدم كفره بما في السؤال أولى وهو ظاهر بل فعل شيء مما ذكر فيه لا يحرم إذا قصد به التشبه بالكفار لا من حيث الكفر وإلا كان كفرا قطعا، فالحاصل أنه إن فعل ذلك بقصد التشبه بهم في شعار الكفر كفر قطعا أو في شعار العيد مع قطع النظر عن الكفر لم يكفر، ولكنه يأثم وإن لم يقصد التشبه بهم أصلا ورأسا فلا شيء عليه، ثم رأيت بعض أئمتنا المتأخرين ذكر ما يوافق ما ذكرته فقال: ومن أقبح البدع موافقة المسلمين النصارى في أعيادهم بالتشبه بأكلهم والهدية لهم وقبول هديتهم فيه وأكثر الناس اعتناء بذلك المصريون، وقد قال : «من تشبه بقوم فهو منهم» ، بل قال ابن الحاج : لا يحل لمسلم أن يبيع نصرانيا شيئا من مصلحة عيده لا لحما ولا أدما ولا ثوبا ولا يعارون شيئا ولو دابة إذ هو معاونة لهم على كفرهم وعلى ولاة الأمر منع المسلمين من ذلك. ومنها اهتمامهم في النيروز بأكل الهريسة واستعمال البخور في خميس العيدين سبع مرات زاعمين أنه يدفع الكسل والمرض وصبغ البيض أصفر وأحمر وبيعه والأدوية في السبت الذي يسمونه سبت النور وهو في الحقيقة سبت الظلام ويشترون فيه الشبث ويقولون أنه للبركة ويجمعون ورق الشجر ويلقونها ليلة السبت بماء يغتسلون به فيه لزوال السحر ويكتحلون فيه لزيادة نور أعينهم ويدهنون فيه بالكبريت والزيت ويجلسون عرايا في الشمس لدفع الجرب والحكة ويطبخون طعام اللبن ويأكلونه في الحمام إلى غير ذلك من البدع التي اخترعوها ويجب منعهم من التظاهر بأعيادهم اهـ

2. Bughyat al-Mustarsyidin, Imam Sayyid ‘Abd al-Rahman bin Muhammad Ba’alawi, Hal. 248, Cet. al-Haramain : 

 حاصل ما ذكره العلماء في التزيي بزي الكفار أنه إما أن يتزيا بزيهم ميلاً إلى دينهم وقاصداً التشبه بهم في شعائر الكفر ، أو يمشي معهم إلى متعبداتهم فيكفر بذلك فيهما ، وإما أن لا يقصد كذلك بل يقصد التشبه بهم في شعائر العيد أو التوصل إلى معاملة جائزة معهم فيأثم ، وإما أن يتفق له من غير قصد فيكره كشد الرداء في الصلاة

3. al-Amru Bil-Ittiba’ Wa al-Nahyu ‘An al-Ibtida’, Imam Jalal al-Din al-Suyuthi, Hal. 141 dan 145-150, Cet. Dar Ibn al-Qayyim, 1410 H (1990 M) :

ومن البدع والمنكرات مشابهة الكفار وموافقتهم في أعيادهم ومواسمهم الملعونة كما يفعله كثير من جهلة المسلمين من مشاركة النصارى وموافقتهم فيما يفعلونه في خميس البيض الذي هو اكبر اعياد النصارى

ومما يفعله كثير من الناس في فصل الشتاء، ويزعمون أنه ميلاد عيسى عليه السلام، فجميع ما يصنع أيضاً في هذه الليالي من المنكرات، مثل: إيقاد النيران، وإحداث طعام، وشراء شمع، وغير ذلك؛ فإن اتخاذ هذه المواليد موسماً هو دين النصارى، وليس لذلك أصل في دين الإسلام. ولم يكن لهذا الميلاد ذكر في عهد السلف الماضين، بل أصله مأخوذ عن النصارى، وانضم إليه بسبب طبيعي، وهو كونه في الشتاء المناسب لإيقاد النيران. ثم إن النصارى تزعم أن يحيى عليه السلام بعد الميلاد بأيام عمد عيسى عليه السلام في ماء المعمودية، فهم يتعمدون - أعني النصارى، في هذا الوقت ويسمونه عيد الغطاس. وقد صار كثير من جُهل المسلمين يدخلون أولادهم الحمام في هذا الوقت، ويزعمون أن ذلك ينفع الولد. وهذا من دين النصارى، وهو من أقبح المنكرات المحرمة.

ومن ذلك أعياد اليهود أو غيرهم من الكافرين أو الأعاجم والأعراب الضالين، لا ينبغي للمسلم أن يتشبه بهم في شيء من ذلك، ولا يوافقهم عليه، قال الله تعالى لنبيه محمد : " ثم جعلناك على شريعة من الأمر فاتبعها ولا تتبع أهواء الذين لا يعلمون إنهم لن يغنوا عنك من الله شيئاً وإن الظالمين بعضهم أولياء بعض والله ولي المتقين . وأهواء الذين لا يعلمون هو ما يهوونه من الباطل، فإنه لا ينبغي للعالم أن يتبع الجاهل فيما يفعله من أهواء نفسه، قال تعالى لنبيه : ولئن اتبعت أهواءهم من بعد ما جاءك من العلم إنك إذا لمن الظالمين . فإذا كان هذا خطابه لنبيه ، فكيف حال غيره إذا وافق الجاهلين أو الكافرين وفعل كما يفعلون مما لم يأذن به الله ورسوله ويتابعهم فيما يختصون به من دينهم وتوابع دينهم؟ وترى كثيراً من علماء المسلمين الذين يعلمون العلم الظاهر، وهم منسلخون منه بالباطن، يصنعون ذلك مع الجاهلين في مواسم الكافرين بالتشبه بالكافرين، وقد جاء عن النبي أنه قال: " من أشد الناس عذاباً يوم القيامة عالم لم ينفعه الله بعلمه ".

والتشبه بالكافرين حرام وإن لم يقصد ما قصده، بدليل ما روي عن ابن عمر عن رسول الله : " من تشبه بقوم فهو منهم ". رواه أبو داود وغيره في السنن. فهذا الحديث أقر أحوالاً تقتضي تحريم التشبه بهم. روى عمر بن شعيب، عن أبيه، عن جده أن رسول الله قال: " ليس منا من تشبه بغيرنا، لا تشبهوا باليهود ولا النصارى ". وعن أبي هريرة رضي الله عنه، قال: قال رسول الله : خالفوا المشركين، احفوا الشوارب، وأعفوا اللحى فأمر رسول الله بمخالفة المشركين مطلقاً. وقال عمر بن الخطاب رضي الله عنه إياكم ورطانة الأعاجم، وأن تدخلوا على المشركين في كنائسهم. وقال عبد الله بن عمر: من بنى بأرض المشركين وصنع نيروزهم ومهرجانهم وتشبه بهم حتى يموت حُشر معهم يوم القيامة. وقد شرط عليهم عمر بن الخطاب رضي الله عنه أن لا يظهروا أعيادهم في بلاد المسلمين، فإذا كانوا ممنوعين من إظهار أعيادهم في بلادنا، فكيف يسع المسلم فعلها؟ هذا مما يقوي طمعهم وقلوبهم في إظهارها، وإنما منعوا من ذلك لما فيه من الفساد، إما لأنه معصية، وإما لأنه شعار الكفر. والمسلم ممنوع من ذلك كله. وقال عمر بن الخطاب رضي الله عنه: اجتنبوا أعداء الله في دينهم، فإن السخط ينزل عليهم. فموافقتهم في أعيادهم من أسباب سخط الله تعالى لأنه إما محدث وإما منسوخ. والمسلم لا يقر على واحد منها. وكما لا يحل التشبه بهم في أعيادهم، فلا يعان المسلم المتشبه بهم في ذلك، كما لا يحل بيع العنب لمن يعصرها خمراً. ومن صنع في أعيادهم دعوة لم يجب إليها، ومن أهدى من المسلمين هدية في هذه الأعياد مخالفة العادة، وهي مما فيه تشبه بهم، لم تقبل هديته.

4. Hasyiyah al-Syarwani ‘Ala Tuhfat al-Muhtaj Bi Syarh al-Minhaj, Imam ‘Abd al-Hamid al-Syarwani, Juz. IX, Hal. 212, Cet. Dar al-Fikr, Beirut, 1430 H (2009 M) :

يعزر من وافق الكفار في أعيادهم ومن يمسك الحية ومن يدخل النار ومن قال لذمي يا حاج ومن هنأه بعيده ومن يسمي زائر قبور الصالحين حاجا والساعي بالنميمة لكثرة إفسادها بين الناس

KEWAJIBAN MEMAHAMI RUKUN KHUTBAH JUM'AT


Kewajiban Memahami Rukun Khutbah Jum`atShalat jumat merupakan salah satu kewajiban yang dipundakkan terhadap kaum laki-laki. Salah satu ketentuan dalam shalat jumat adalah adanya khutbah jumat. Khutbah jumat harus didengar oleh sekurang-kurangnya 40 jamaah ahli jumat. Salah satu ketentuan khutbah jumat adalah harus dalam bahasa arab walaupun para jamaah tidak mengerti bahasa arab sama sekali. Ada sebuah persepsi bahwa para jamaah jumat disyaratkan memahami rukun khutbah atau setidaknya mengetahui yang mana saja yang termasuk dalam rukun khutbah ketika dibaca oleh khatib walaupun mereka tidak mengerti arti dari rukun yang tersebut minimal ia mengetahu bahwa yang dibacakan oleh khatib sekarang adalah hamd, atau shalawat dan lain-lain. Hal ini tentu saja menjadi satu problem, mengingat kebanyakan masyarakat kita yang awam tidak mengerti dan tidak tahu yang mana saja yang termasuk dalam rukun khutbah.

Pertanyaan:
Bagaimanakah sebenarnya persyaratan ahli jumat, apakah disyaratkan untuk sah shalat jumat para jamaah harus mampu memahami khutbah dan mampu membedakan mana saja yang termasuk dalam rukun dan sunat pada khutbah yang dibawakan oleh khatib?

Jawab:
Bagi para jama’ah yang merupakan masyarakat awam tidak disyaratkan harus mampu membedakan rukun dan sunat tetapi hanya disyaratkan mendengarkan khutbah yang dibaca oleh khatib (secara bil fi`ly menurut Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy ra dan secara bil quwwah menurut Imam Jamal Ramly ra) meskipun mereka tidak mengetahui yang mana rukun dan sunat dan juga tidak mengetahui apakah yang sedang dibaca oleh khatib tersebut hamd/puji, shalawat, wasiat, ayat ataupun doa.

Sedangkan untuk selain kalangan awam tidak dibenarkan baginya tidak mengetahui mana yang rukun dan yang sunat.

Penjabaran
Salah satu khususiyat (keistimewaan) shalat jum`at adalah diwajibkan dua khutbah jum`at. Rukun khutbah jum`at ada 5:
1. Hamd/pujian.
2. Shalawat
3. Ayat al-Quran.
4. Washiat taqwa.
5. Do`a bagi kaum muslimin.

Kelima rukun dua rukun khutbah juma`t tersebut wajib dalam bahasa arab dan didengar oleh minimal 40 jamaah jum`at. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat antara Imam Ibnu Hajar dengan Imam Ramli tentang ketentuan mendengar dua rukun khutbah. Menurut Imam Ibnu Hajar harus bil fi`ly artinya para jamaah harus nyata mendengarnya. Sedangkan menurut Imam Ramli dipadai dengan mendengar bil quwwah artinya artinya mungkin untuk di dengar kalau seandainya tidak ada mani`/penghalang untuk mendengar dua rukun khutbah. Maka dalam kasus khutbah jumat ditengah suara bising apabila bising tersebut menegah para jamaah untuk mendengar dua rukun khutbah maka menurut Imam Ibnu Hajar tidak sah sedangkan menurut Imam Ramli sah.

Masalah lain selain mendengar dua rukun khutbah apakah para jamaah disyaratkan mampu memahami isi khutbah? Dan membedakan mana saja yang termasuk dalam rukun dua khutbah atau tidak disyaratkan sama sekali.

Pada dasarnya ketika syara` (Allah SWT) mewajibkan sesuatu kepada mukallaf maka si mukhatab haruslah orang yang mampu mengetahui bahwa ia sedang ditaklif oleh syara`. Atas dasar inilah sehingga orang-orang yang tidak mungkin mengetahui dirinya sedang ditaklif seperti orang gila, orang lupa(sahy), orang pingsan dan anak-anak maka tidak termasuk dalam mukhatab dengan amar/perintah syara`. Sehingga terhadap mereka tidak dibebankan hukum syar`y.

Selain itu si mukhatab harus juga mengetahui apa yang dikhitabkan terhadapnya (mukhatab bih) agar ia bisa melakukannya dengan maksud menjunjung khitab/perintah syara` (imtitsal). Atas dasar ini maka setiap mukallaf harus mengetahui mana yang wajib atau sunat dari setiap ibadah yang ia lakukan. Imam Jamal ar-Ramli dalam kitab Nihayah pada ketika mensyarah kalam Imam an-Nawawi pada syarat-syarat wudhuk menerangkan alasan mengapa mengetahui wudhuk adalah wajib, bagaimana kaifiyat wudhuk, serta membedakan antara wajib dan sunat tidak termasuk dalam hitungan syarat wuduk. Imam Ramli menjelaskan hal dekimian karena beberapa syarat tersebut tidak hanya terkhusus pada wudhuk saja namun juga berlaku pada seluruh ibadah. Kemudian Imam Jamal Ramli mengatakan:

.فلو جهل كون أصل الصلاة أو صلاته التي شرع فيها أو الوضوء أو الطواف أو الصوم أو نحو ذلك فرضا أو علم أن فيها فرائض وسننا ولم يميز بينهما لم يصح ما فعله لتركه معرفة التمييز المخاطب بها

“kalau tidak diketahui shalat atau shalat yang sedang dikerjakan, atau wudhuk, thawaf, puasa atau ibadah lain adalah fardhu atau ia mengetahui bahwa dalam shalat tersebut ada yang fardhu dan ada yang sunat namun ia tidak mempu membedakan diantara keduanya maka tidak sah ibadah yang ia kerjakan karena ia tidak mengetahui mukhatab bih.”< Namun, walaupun demikian dalam menerangkan syarat-syarat shalat para ulama menerima fatwa Imam Ghazali pada bab shalat yang membedakan antara kalangan awam dengan ilmuan tentang persyaratan harus mampu membedakan mana yang wajib dan yang sunat dalam shalat dengan ketentuan tidak sampai meniatkan wajib menjadi sunat. Fatwa Imam Ghazali ini juga diberlukan pada bab selain shalat, seperti khutbah jum`at, maka pada khutbah jum`at juga berlaku rincian antara kalangan alim dan awam. Terhadap kalangan alim diwajibkan untuk mengetahui hal-hal yang wajib dan sunat sedangkan kalangan awam dimaafkan untuk tidak mampu membedakan antara wajib dan sunat tapi dengan persyaratan tidak sampai meyakini sunat terhadap perbuatan wajib. Referensi:

1. Bujairimy `ala khatib jilid 2 hal 202

قوله: (فعلم) أي من اشتراط الإسماع لأنه لا يتحقق إلا بالسماع. اهـ. حلبي.
قوله: (وإن لم يفهموا معناهما) مثل القوم الخطيب لا يشترط فيه معرفة أركانهما، كمن يؤم القوم ولا يعرف معنى الفاتحة خلافا لما بحثه الزركشي من اشتراط ذلك في حقه اهـ شرح م ر أج.

2. Mughny al-Muhtaj jilid hal 429 Cet. Dar Makrifah thn 1997

 و ) الخامس ( إسماع أربعين كاملين ) أي أن يرفع صوته بأركانها بحيث يسمعها عدد من تنعقد بهم الجمعة ؛ لأن مقصودها وعظهم وهو لا يحصل إلا بذلك ، فعلم أنه يشترط الإسماع والسماع وإن لم يفهموا معناها كما مر كالعامي يقرأ الفاتحة في الصلاة ولا يفهم معناها فلا يكفي الإسرار كالأذان ولا إسماع دون من تنعقد بهم الجمعة
فقوله : كغيره أربعين : أي بالإمام فلو كانوا صما أو بعضهم لم تصح كبعدهم وقضية كلامهم أنه يشترط في الخطيب إذا كان من الأربعين أن يسمع نفسه حتى لو كان أصم لم يكف وهو كما قال الإسنوي بعيد بل لا معنى له لأن الشخص يعرف ما يقول وإن لم يسمعه ولا معنى لأمره بالإنصات لنفسه ولا يشترط أن يعرف الخطيب معنى أركان الخطبة خلافا للزركشي كمن يؤم القوم ولا يعرف معنى الفاتحة

3. Hasyiah Syarwany jilid 2 hal 450 Cet. Dar Firk, Hasyiah Syibra Malasy `ala Nihayatul Muhtaj jilid 2 hal 317 Cet. Dar Kutub Ilmiyah dan Hasyiah Jamal jilid 2 hal 18 Cet. Dar 

 فرع ) هل يشترط في الخطبة تمييز فروضها من سننها فيه ما في الصلاة في العامي وغيره من التفصيل المقرر عن فتاوى الغزالي وغيره سم على المنهج .

4. Bughyatul Mustarsyidin hal 82 Cet. Haramain

مسألة : ك) : لا يشترط فهم أركان الخطبة للمستمعين بل ولا للخطيب نفسه خلافاً للقاضي ، كما لا يشترط فهم أركان الصلاة ولا تمييز فروضها من سننها اهـ.
قلت : بل ولا يشترط معرفة الخطيب أركان الخطبة من سننها كما في فتاوى (م ر) كالصلاة ، لكن يشترط إسماع الأربعين أركان الخطبة في آن واحد فيما يظهر ، حتى لو سمع بعض الأربعين بعضها وانصرف وجاء غيرهم فأعاد عليهم لم يكف ، قاله ع ش.

5. Fathul Jawad Syarah Al Irsyad jilid 1 hal 304 Cet. Dar Kutub Ilmiyah

فالشرط الاسماع والسماع بالفعل وان لم يفهموه وذكر الاسماع ايضا لازم للسماع بالفعل والخطيب يفهم ما يقول فيكفي سماع تسعة وثلاثين غيره ولا يشرط معرفة الخطيب معنى اركانهما خلافا للزركاشى

6. Syarah Bafadhal hal 64 cet. Haramain

وفائدة الخطبة بها وان لم يعرفها القوم العلم بالوعظ من حيث الجملة اذ الشرط سماعها لا فهم معناها.....

7. Asnal Mathalib jilid 1 hal 257 Cet.Dar Kitab Islamy

وأجاب القاضي عن سؤال ما فائدة الخطبة بالعربية إذا لم يعرفها القوم بأن فائدتها العلم بالوعظ من حيث الجملة ويوافقه ما سيأتي فيما إذا سمعوا الخطبة ولم يفهموا معناها أنها تصح

8. Hasyiah Syarwani jilid 2 hal 491 cet. Dar Fikr

(يفهم ما يقول) لعل الاولى يعلم ما يقول أي الالفاظ لما تقدم أنه لا يشترط فهمه خلافا للقاضي سم وقوله الاولى يعلم إلخ أي كما في النهاية والمغني

9. Hasyiah Syarwany `ala Tuhfatul Muhtaj jilid 2 hal 109 Cet. Dar Firk

قوله: (ولا يرد الخ) عبارة النهاية وإنما لم يعد من شروطها أيضا الاسلام والتمييز والعلم بفرضيتها وبكيفيتها وتمييز فرائضها من سننها لانها غير مختصة بالصلاة فلو جهل كون أصل الصلاة أو صلاته التي شرع فيها أو الوضوء أو الطواف أو الصوم أو نحو ذلك فرضا أو علم أن فيها فرائض وسننا ولم يميز بينهما لم يصح ما فعله لتركه معرفة التمييز المخاطب به وأفتى حجة الاسلام الغزالي بأن من لم يميز من العامة فرض الصلاة من سننها صحت صلاته أي وسائر عباداته بشرط أن لا يقصد بفرض نفلا وكلام المصنف في مجموعه يشعر برجحانه والمراد بالعامي من لم يحصل من الفقه شيئا يهتدي به إلى الباقي ويستفاد من كلامه أي المجموع أن المراد به هنا من لم يميز فرائض صلاته من سننها وأن العالم من يميز ذلك وأنه لا يغتفر في حقه ما يغتفر في حق العامي اهــــ، وكذا في المغني إلا قوله: والمراد الخ

10. Nihayah Muhtaj jilid 1 hal 155 Cet. Dar Kutub Ilmiyah

وأن يعرف كيفيته بأن لا يقصد بفرض معين نفلا
 قوله : وأن يعرف كيفيته ) أي الوضوء ، ويأتي هذا الشرط في كل ما يعتبر فيه النية وقصره على الوضوء لكون الكلام فيه ( قوله : بأن لا يقصد إلخ ) هذا يشكل بصحة الاقتداء بالمخالف ، فإن ما يأتي به مراعيا فيه للخلاف كالبسملة في الفاتحة يعتقد سنيته .وأجاب الشارح عنه في باب صلاة الجماعة بما حاصله أنه اغتفر ذلك محافظة على كثرة الجماعة فليراجع ثم ، وظاهره ولو غير عامي ، لكن قيد في نظيره من الصلاة بالعامي .
وعبارته في باب شروط الصلاة : وأفتى حجة الإسلام الغزالي بأن من لم يميز من العامة فرض الصلاة من سننها صحت صلاته : أي وسائر عباداته بشرط أن لا يقصد بفرض نفلا ، وكلام المصنف في مجموعه يشعر برجحانه ، والمراد بعامي من لم يحصل من الفقه شيئا يهتدي به إلى الباقي ، ويستفاد من كلامه أن المراد هنا من لم يميز فرائض صلاته من سننها ، وأن العالم من يميز ذلك ا هـ

11. Nihayah Muhtaj jilid 2 hal 4 Cet. Dar Kutub Ilmiyah

وإنما لم يعد من شروطها أيضا الإسلام والتمييز والعلم بفرضيتها وبكيفيتها وتمييز فرائضها من سننها لأنها غير مختصة بالصلاة .فلو جهل كون أصل الصلاة أو صلاته التي شرع فيها أو الوضوء أو الطواف أو الصوم أو نحو ذلك فرضا أو علم أن فيها فرائض وسننا ولم يميز بينهما لم يصح ما فعله لتركه معرفة التمييز المخاطب بها .
وأفتى حجة الإسلام الغزالي بأن من لم يميز من العامة فرض الصلاة من سننها صحت صلاته أي وسائر عباداته بشرط أن لا يقصد بفرض نفلا وكلام المصنف في مجموعه يشعر برجحانه والمراد بالعامي من لم يحصل من الفقه شيئا يهتدي به إلى الباقي ويستفاد من كلامه أن المراد به هنا من لم يميز فرائض صلاته من سننها وأن العالم من يميز ذلك ، وأنه لا يغتفر في حقه ما يغتفر في حق العامي ؛ وقد علم أيضا أن من اعتقد فرضية جميع أفعالها تصح صلاته لأنه ليس فيه أكثر من أدائه سنة باعتقاد الفرض وهو غير ضار .

12. Ghayatul Bayan hal 98 Cet. Dar Makrifah

و ثالثها التمييز - وفي هذا البيت من أنواع البديع الجناس التام المماثل وهو أن يتفق اللفظان من نوع واحد في أنواع الحروف وأعدادها وهيئاتها وترتيبها ومنه قوله تعالى ويوم تقوم الساعة يقسم المجرمون ما لبثوا غير ساعة - للفرض من نفل لمن يشتغل بالفقه وهو غير العامي فلو اعتقد أن جميع أفعالها سنة أو بعضها فرض وبعضها سنة ولم يميز لم تصح صلاته قطعا والفرض لا ينوى به التنفل اي من العامي الذي لا يميز فرائض الصلاة من سننها بأن يعتقد أن جميع افعالها فرض أو بعضها فرض وبعضها سنة ولم يقصد التنفل بما هو فرض فقد قال الغزالي في فتاويه العامي الذي لا يميز فرائض صلاته من سننها تصح صلاته بشرط أن لا يقصد التنفل بما هو فرض فإن نوى النفل بفرض لم يحتسب به فلو غفل عن التفصيل فنيه الجملة في الابتداء كافية حكاه عنه النووي في الروضة وغيرها وقال وهو الصحيح الذي يقتضيه ظاهرا أحوال الصحابة فمن بعدهم ولم ينقل انه عليه الصلاة والسلام ألزم الأعراب ذلك ولا أمر بإعادة صلاة من لم يعلم ذلك

13. Ghayatut Talkhish hal 89 Cet. Haramain

مسألة): تصح صلاة العامي الذي لا يميز فرائض الصلاة من سننها بشرط أن لا يقصد التنفل بما هو فرض، كما صححه في المجموع عن فتاوى الغزالي، نعم هو مأثور بترك التعلم، إذ معرفة ذلك من فروض الأعيان، قلت: وافقه (م ر) وجزم ابن حجر بالصحة حتى من العالم

14. Fatawy Imam Ghazaly hal 27 cet. ISTAC Kuala Lumpur Tahun 1996

مسألة : اذا لم يعرف فرائض الصلاة من سننها فان كانت صلاته تصح فقد يؤدى فرضا بنية النفل فان كان ذلك يصير كما اذا جلس فى الرابعة فظن انها الجلسة الاولى فما الحكم فيه اذا سلم من اثنين فطن انه سلم من اربع ثم صلى اثنتين معتقدا انهما سنة ؟
الجواب : العامي الذي لا يميز بين الفرائض و السنن تصح صلاته ولكن بشرط أن ينفك عن قصد التنفل بما هو فرض فإن قصد عند الفرض ان يتنفل به لم يعتد به وان غفل عن التفصيل فنيه الجملة في الابتداء كافية للاعتداد

15. Fatawa Imam Ramli jilid 1 hal 139 ditepi Kitab Fatawa Kubra Fiqhiyyah Ibnu Hajar al-Haitamy Cet. Dar Fikr

 سئل ) ما المراد بقولهم في شروط الصلاة يشترط العلم بفرائضها وسنتها إلا في حق غير العامي وما المراد بالعامي ؟
 فأجاب ) بأنهم قد قالوا : إن من شروط الصلاة العلم بكيفيتها فلو اعتقد كل أفعالها فرضا فالأصح الصحة أو سنة فلا أو البعض ولم يميزه فكذا عند القاضي حسين وغيره وكلام النووي في تحقيقه يشعر برجحانه لكن قطع القفال بالصحة للعامي وأفتى به الغزالي بشرط أن لا يقصد التنفل بفرض ورجحه النووي في مجموعه وقال في الزوائد : إنه الظاهر ا هـ والمراد بالعامي من لم يحصل من الفقه شيئا يهتدي به إلى الباقي ولهذا قال حجة الإسلام الرملي في فتاويه : العامي الذي لا يميز فرائض الصلاة من سننها فتصح صلاته بشرط أن لا يقصد التنفل بما هو فرض فإن نوى التنفل به لم يعتد به فإذا غفل عن التفصيل فنية الجملة في الابتداء كافية ا هـ فأفاد كلامه أن العامي هو الذي لا يميز فرائض الصلاة من سننها وأن العالم هو الذي يميزها منها وأنه لا يغتفر في حقه ما اغتفر في حق العامي

PENGERTIAN KHITAN,HUKUM DAN WAKTUNYA

Pengertian khitan
Arti Khitan menurut bahasa adalah “memotong”.Sedangkan menurut istilah khitan pada laki-laki adalah memotong kulit yang menutupi ujung kemaluan laki-laki yang disebut dengan Qulfah, agar tidak terhimpun kotoran di dalamnya, dan juga agar dapat menuntaskan air kencing, serta tidak mengurangi nikmatnya jima’ suami isteri.
Jadi bila seorang anak yang pada waktu dilahirkan tidak memilki qulfah (kulit penutup glan penis), maka tidak disyariatkan padanya untuk dikhitan.

 Asnal Mathalib 20 hal 190 Maktabah Syamilah
 قَوْلُهُ : لَا بُدَّ مِنْ كَشْفِ جَمِيعِ الْحَشَفَةِ فِي الْخِتَانِ ) يُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّ مَنْ وُلِدَ مَخْتُونًا بِلَا قُلْفَةٍ لَا خِتَانَ عَلَيْهِ إيجَابًا وَلَا نَدْبًا كَمَا رَأَيْته فِي التَّبْصِرَةِ لِلشَّيْخِ أَبِي مُحَمَّدٍ الْجُوَيْنِيِّ وَحَكَاهُ بَعْضُهُمْ عَنْ بَعْضِ كُتُبِ الْبَغَوِيّ وَهُوَ ظَاهِرٌ

Menurut riwayat yang shaheh (kuat), Nabi Ibrahim as melakukan khitan pada usia 80 tahun. Dalam riwayat lain yang juga shaheh beliau khitan pada usia 120. Tetapi antara dua hadis shaheh tersebut bisa dikompromikan dengan jalan menghamal hadis pertama kepada 80 tahun dari tahun kenabian sedangkan hadis yang mengatakan beliau khitan pada usia 120 tahun, maksudnya adalah dari tahun kelahiran beliau.

Laki-laki yang pertama kali melakukan khitan adalah Nabi Ibrahim as sedangkan, dari pihak wanita adalah siti Hajar. Nabi Adam as Allah ciptakan dalam keadaan telah terkhitan.
Diantara para Nabi yang terlahir telah terkhitan ada 13 orang yaitu: Nabi Syist, Nuh, Hud, Shalih, Luth, Syu`aib, yusuf, Musa, Sulaiman, Zakaria, Isa, Handhalah bin Shafwan dan Nabi kita Muhammad saw.

Adapun khitan pada wanita yaitu memotong sedikit klistoris (badhr) yang ada pada kelamin wanita. dan yang lebih afdhal pada wanita adalah memotong sedikit saja (asal terbenar memotong).
Dalam satu hadis Rasulullah menyebutkan:
أَشِمِّي وَلَا تُنْهِكِي فَإِنَّهُ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ لِلْبَعْلِ


Hukum khitan 
Dikalangan Imam Mazhab terjadi khilaf tentang hukum khitan.
  1. Pendapat yang kuat didalam mazhab Syafii adalah wajib terhadap laki-laki dan wanita, demikian juga pendapat Imam Ahmad dan kebanyakan para ulama salaf.
  2. Sunat terhadap laki-laki dan wanita. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, demikian juga sebagian ulama dalam mazhab Syafii.
  3. Wajib pada laki-laki dan sunat pada wanita. Ini adalah pendapat sebagian ulama mazhab syafii.
Dua pendapat terakhir merupakan pendapat yang syaz.
Referensi:
Majmuk Syarah Muhazzab 1 hal 301 maktabah syamilah
(فرع) الختان واجب على الرجال والنساء عندنا وبه قال كثيرون من السلف كذا حكاه الخطابي وممن أوجبه أحمد وقال مالك وابو حنيفة سنة في حق الجميع
وحكاه الرافعى وجها لنا: وحكي وجها ثالثا انه يجب على الرجل وسنة في المرأة: وهذان الوجهان شاذان: والمذهب الصحيح المشهور الذى نص عليه الشافعي رحمه الله وقطع به الجمهور انه واجب على الرجال والنساء: ودليلنا ما سبق فان احتج القائلون بأنه سنة بحديث الفطرة عشر ومنها الختان فجوابه قد سبق عند ذكرنا تفسير الفطرة والله أعلم

I`anatut thalibin 4 hal 194 Maktabah syamilah
ووجب ختان) للمرأة والرجل حيث لم يولدا مختونين لقوله تعالى: * (أن اتبع ملة إبراهيم) * ومنها الختان، إختتن وهو إبن ثمانين سنة، وقيل واجب على الرجال، وسنة للنساء
Landasan hukum khitan
Adapun landasan hukum khitan antara lain:
  1. Ayat Al Quran Surat An Nahlu ayat

    ثُمَّ أَوْحَيْنَا إلَيْك أَنْ اتَّبِعْ مِلَّةَ إبْرَاهِيمَ حَنِيفًا
    Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan Rasulullah untuk mengikuti ajaran Nabi Ibrahim, salah satu dari ajaran Nabi Ibrahim adalah khitan sebagaimana diriwayatkan dalam hadis Shaheh riwayat Bukhary dan Muslim

    حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا مغيرة بن عبد الرحمن القرشي عن أبي الزناد عن الأعرج عن أبي هريرة رضي الله عنه قال
    : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( اختتن إبراهيم عليه السلام وهو ابن ثمانين سنة بالقدوم )
    حدثنا أبو اليمان أخبرنا شعيب حدثنا أبو الزناد ( بالقدوم ) مخففه . تابعه عبد الرحمن بن إسحاق عن أبي الزناد . وتابعه عجلان عن أبي هريرة . رواه محمد بن عمرو عن أبي سلمة
  2. Hadis riwayat Abi Daud
    حَدَّثَنَا مَخْلَدُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ أُخْبِرْتُ عَنْ عُثَيْمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّهُ جَاءَ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ قَدْ أَسْلَمْتُ. فَقَالَ لَهُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم- « أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ ». يَقُولُ احْلِقْ. قَالَ وَأَخْبَرَنِى آخَرُ أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم- قَالَ لآخَرَ مَعَهُ « أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ »
  3. Rasulullah saw memerintahkan shahabat untuk berkhitan, sedangkan pada khitan tersebut memotong anggota badan dan membuka aurat, kedua hal ini pada dasarnya merupakan hal yang terlarang. Pada saat hal tersebut diperintahkan maka dapat dipahami bahwa hal tersebut adalah wajib.
    Referensi:
    Asnal mathalib
    ولأنه قطع عضو لا يخلف فلا يكون إلا واجبا كقطع اليد ، والرجل ولأنه جرح يخاف منه ، فلو لم يجب لم يجز

    Majmuk Syarah Muhazzab 1 hal 301 maktabah syamilah 
    وأما الاستدلال بكشف العورة فقد ذكره آخرون مع المصنف وقاله قبلهم أبو العباس بن سريج رحمه الله وأورد عليه كشفها للمداواة التي لا تجب
    والجواب ان كشفها لا يجوز لكل مداواة وانما يجوز في موضع يقول أهل العرف ان المصلحة في المداواة راجحة علي المصلحة في المحافظة على المروءة وصيانة العورة كما سنوضحه ان شاء الله تعالي في أول كتاب النكاح حيث ذكره المصنف والاصحاب: فلو كان الختان سنة لما كشفت العورة المحرم كشفها له: واعتمد المصنف في كتابه في الخلاف والغزالي في الوسيط وجماعة قياسا فقالوا الختان قطع عضو سليم: فلو لم يجب لم يجز كقطع الاصبع فان قطعها إذا كانت سليمة لا يجوز الا إذا وجب بالقصاص والله أعلم

    Asybah wan Nadhair fil Furu` hal 108
    القاعدة الثالثة والعشرون الواجب لا يترك إلا لواجب وعبر عنها قوم بقولهم الواجب لا يترك لسنة وقوم بقولهم ما لا بد منه لا يترك إلا لما لا بد منه وقوم بقولهم جواز ما لو لم يشرع لم يجز دليل على وجوبه وقوم بقولهم ما كان ممنوعا إذا جاز وجب وفيها فروع - الى قوله - ومنها الختان لو لم يجب لكان حراما لما فيه من قطع عضو وكشف العورة والنظر إليها
Waktu khitan 
Terjadi khilaf pendapat para ulama tentang kapan seorang anak dikhitan. Menurut pendapat yang shaheh tidak wajib dikhitan sehingga ia baligh dan disunatkan pada hari ketujuh kelahirannya, hal ini berlaku bila menurut perkiraan medis hal tersebut tidak akan berdampak negativ. Kalau tidak maka harus ditunggu sampai ia sanggup untuk dikhitan. Maka seorang yang sudah baligh wajib disegerakan untuk dikhitan dan bila ia enggan maka terhadap pemerintah wajib memaksanya untuk dikhitan.